Mahasiswa Galau


Semestinya, lulusan TI atau yang biasa disebut dengan programmer muda mensyukur diri mengingat bidang ini lintas ilmu, lintas disiplin, lntas ruang, ragam pendekatan.

Akhir-akhir ini, beberapa mahasiswa, malam-malam singgah ke rumahku. Namun, dari sekian mahasiswa itu yang kini jadi galauku tak lain mereka yang baru saja melulus diri dari kampus. Hampir sama, di antara mereka semua bertanya : setelah ini (aku) ke mana? Apakah ada informasi untuk saya?
Dalam pandanganku, pertanyaan-pertanyaan yang demikian taak selalu hadir kala melulus diri. Pertanyaan-pertanyaan itu kuyakin muncul malam-malam kala sepi masa depan. Yang hadir di sana antara bekal diri yang dimiliki dengan kecemasan esok hari : apakah aku mampu menjalin hidup sebagai programmer muda esok nanti. Mungkin, hanya dinding kamar itu yang kerap mendengarny, mungkin doa doa ayah dan ibu yang menemani dari kejahuan. Mungkin, si  dosen itu saja yang tahu bahwa menjadi programmer muda saat ini tidaklah muda. Ia tak mudah manakala saat ini dan untuk sekian waktu ke depan akan menyusul barisan para programmer pencari kerja dari berbagai penjuru kota dan pinggiran, pencari penghidupan, sedangkan lapangan itu kian sesak diperebutkan. Maka, yang mesti dikerjakan tak lain mereposisi diri sebagai programmer.

Semestinya programmer mensyukur diri mengingat bidang ini lintas ilmu, lintas disiplin, lintas ruang, ragam pendekatan. Hal ini dapat dipahami secara demekian: jika programmer adalah tentang pemecahan persoalan, maka selama solusinya dimungkinkan merupakan program, apapun masalah atau persoalan itu programmer senantiasa dapat hadir di sana. Maka, yang perlu dikerjakan yaitu memperluas cara memandang keilmuan yang selama ini dimiliki dan dipelajari.

Galau mahasiswa yang barusan melulus diri tadi sedikit banyak mengasal dari kampus: kegagalan pendidikan (formal) dalam menawarkan pandangan apa dan bagaimana menjadi programmer dari waktu ke waktu. Bukan pada soal banyaknya mata kuliah yang diberikan, bukan pula pada soal bobot sks yang dibebankan, juga bukan pada soal daftar kepustaan yang mesti dibaca-baca, namun pada soal bagaimana memperluas diri sebagai insane programmer yang mampu bersikap tenang.

Menurutku, pertanyaan “setelah ini (aku) mau ke mana” merupakan sebuah pertanyaan yang secara psikologis mengada pada level kecemasan. Jika benar demikian, maka pertanyaan galau itu bukan sebatas pertanyaan seorang programer muda,  namun sebuah pertanyaan yang menjelaskan kecemasan (untuk tak mengatakan sebagai kegagalan) sebagai manusia. Maka dari itu, soal menjadi manusia inilah yang (kerap) luput dari cakupan sks, kurikulum, mata kuliah-mata kuliah praktik maupun teori. Maka, yang ditanam di kampus dalam sekian semester akan berbuah pada kemudian hari. Apakah galau mahasiswa menjadi galau kurikulum pendidikan desain kita? Kita periksa saja satu persatu.

Jika soal menjadi manusia beserta kesiapan menghadapi kecemasan-kecemasan tak menjadi persoalan utama pendidikan, selama itu pula tiap malam mahasiswa akan senantiasa meratap pada dinding kamarnya, sedang doa-doa ayah ibu memanjatkan selalu bahwa: “semoga anakku mampu dan berhasil dalam hidupnya sebagai manusia.”

ini bukan fiksi. Ini juga bukan aforisma. Tulisan ini hanya sederhana saja, maunya mengingatkan kembali bahwa menjadi manusia lebih luas dimensinya sebatas menjadi seorang programmer . Namun, lewat menjadi programmer  dalam cakrawala menjadi manusia, sosok yang dalam dirinya memiliki kompleksitas dan keragaman, niscaya cemas-cemas itu pelan-pelan tangkas teratasi. Meski, dalam beberapa hal senantiasa menyisa galau. Salam Mahasiswa_Galau


What's on Your Mind...